Rabu, 30 April 2014

HARUS BERAPA HASTA LAGIKAH?



HARUS BERAPA HASTA LAGIKAH?

Apa yang merintang perjalanan sungaiku hingga lautNya tak segera bertemu. Terlihat hanya tujuan yang masih menjauh, batu penghalang yang memperlambat dan airku yang mulai kelelahan. Bosan menyergap dan putus asa nyaris membeleggu kaki.

Kata muara: Tak ada yang membuat jarak apalagi ruang yang merintang. Matamu berkabut hingga menghalangi melihat tujuanmu. Telingamu tertutupi hingga suara gemericikNya tak terdengar. Aku menunggu di ujung ketakberdayaanmu. Aku adalah tempat pertemuanmu.

Ketidaksanggupan sungaiku menuju muaraku apalagi bersatu dengan lautan membuat dia merendah, tak ada lagi ucap bersuara lautan atau kehendak mensejajarkan diri dengan muara apalagi lautan.


Ya...harus berapa hasta lagikah untuk mengetahui manusia adalah lemah dan hajat akan tongkat penuntun dan tempat bersandar?

CARI DAN BERKARIBLAH



CARI DAN BERKARIBLAH

Tangan perkasanya membawanya dari kejauhanku, menumbuhkan di ladangku dari perbendaharaan bumiNya, menurunkan dari singgasana langitNya untuk kududuki dan membuatnya mudah dari kesulitanku.

Anehnya egoku mendustaiku untuk mengaku milikNya yang bukan milikku. Katanya: Dia milikmu. Ambillah...!

Lagi, tangan perkasaNya membawanya hingga wadah terisi melimpah. Mataku terintang oleh debu-debu yang diterbang ego sang pendusta.

Satu waktu, tangan bijaknya mengambil yang menjadi miliknya yang kuaku milikku. Anehnya hatiku sakit, rupanya dia telah menghuni tempat yang tak layak ditempati. Aku mencintainya dan saat kecintaan itu di ambil aku terluka.


Aku mendengar dalam ke dalaman mimpi, cari teman yang telah mempuasakan rasa kepemilikan dengan mengosongkan nilai benda dari hatinya. Cari dia dan berkariblah...!

AKU YANG MERINDU TEMPAT ITU



AKU YANG MERINDU TEMPAT ITU

Aku merindumu duhai guru mursidku, aku mengingat dengan sepenuh kerinduan, mengulang mengingat dan mengulangnya agar kejelasan tak  tertitai atau takut ada penggalan terlupa dan menghilang.

Kata sang guru: Jangan lewati jalan itu andai engkau memaksa juga berjalanlah dengan matamu. Sayang  telinga hati tersumbat, aku susuri dengan mata terintang, karna jalan itu licin aku terpeleset, karna jalan itu penuh lubang aku terjatuh, karna jalan itu penuh ranjau dan aku binasa.

Kata sang guru: Ikuti jalan setapakku dengan susuri jejak tertinggal, jika angin menghilangkannya ikuti bayanganku. Di mula jalanmu bayanganku memanjang tapi ketika hampir sampai bayanganku mengecil dan menghilang, itu pertanda engkau telah sampai padaku.

Dan aku menangis ketika bayanganmu kian menebal dan memanjang dan sekelilingku kian bersinar terang...ya aku kian menjauh dari dekatmu...kian membelakangi dari sampaimu...

Dan aku mengingat dengan jelas: jika engkau telah sampai padaku, akan kubangun tempat tertinggi di hatimu yang dengannya engkau dapat memandang seluruh penjuru dengan mudah tanpa penghalang dan bermukimlah disana karna tiada pandangan yang lebih terang kecuali terbit dari pandangannya. 

Aku merindu tempat itu saat ini duhai guru mursyiku

MUNGKINKAH?



MUNGKINKAH?

Tak ada apapun di balik cawan-cawan anggur yang di reguk. Tak ada kesenangan apapun yang sembunyi, apalagi menerbangkanmu ke alam extase.

Butuh berapa anggur tertuang untuk mengetahui bahwa semua upaya adalah kesiaan, semua adalah kekosongan dan kehampaan? Butuh berapa gelas tereguk untuk menyadari bahwa engkau terarus dalam angin semilir panjang angan, meninabobokannya dalam kasur berselimut dan menidurkanmu dalam mimpi bebalmu.

Kata sahabat: Nafsumu tak kan pernah mensehati: sudahlah wahai jiwa sekalipun engkau meminta dengan air matamu, nafsumu tak pernah terpadamkan oleh kesenangan apapun.

Kataku membelanya: ini bukan tentang nafsu yang serupa api, ini tentang extase yang membahagiakan, jalan keselamatan dari ketersesatan, hikmat yang tak terpungut karna abai peka kindahan terserak...


Sahabatku yang peminum wajahnya bercahaya setelah ada yang memahami kebodohannya.

MERINDU



MERINDU

Berhentilah melihat ke atas dan menyibak ada apa di atas bintang? Ada apa dibalik langit? Tak ada apapun misteri tersembunyi hingga harus di ungkap. Tak ada tujuan apapun yang pantas dituju hingga harus menuju. Pun tak ada kejelasan tentang tanya keberadaanNya yang terus di cari.

Jika masih merindu, jangan menjadi sinaif yang hanya terus memandang. Selayaknya pasang tangga tinggi dan dengan yakinmu,  dakilah anak tangganya satu persatu.

Atau jika merindumu cukup, cipta jembatan hati dan titi hati-hati, sibak misteri mentarimu, ungkap rahasia langitmu.


Kulihat engkau terlelah dan gagal. Kataku: Betulkan, tak ada apapun untuk sebongkah arti. Jangan mengulang kebodohan yang sama.

Selasa, 29 April 2014

MELAPAR



MELAPAR

Mataku teriak kehausan: Aku terus merindu kindahan. Dimana pemuas dahagaku?

Telingaku menjerit lapar: Aku terus merindu kemerduan. Kemana mencari kekenyanganku?

 Hatiku terus merintih menangis: Aku terus merindu tujuanku. Dimana tempat menujuku?

Hari-hari menawari bunga harapan. Katanya: Jangan menanti disini. Melangkah meski langkah lemah dan hirup wanginya yang di terbang angin semilir.

Ruangpun memberi nyala terang, katanya: Dia sungguh nyata. Tempatkan dia di kedalaman hati.


Aku melihat mesin kosmis berjalan pasti, roda gigi dan piston terlihat presisi. Ah...aku yang menungganginya atau akukah yang ditungganginya?

RAHASIA LAUTKU



RAHASIA LAUTKU

Lautku tak mampu menjadi surga bagi nelayan, memberi damai bagi sipedamba,memberi senyum bagi sibergantung, memberi kepastian bagi sipengharap.

Kini, sampah terlaknat  telah keruh kotorkan wajahnya, menyumpahinya penuh sumpah serapah dan mengutukinya penuh kekejaman.

Laut terlalu lama berdiam, pembiaran tiada berguna juga, dengan lembut mulai berkata: Keyakinanmu terbatas , aku hanya bisa beri surga yang kini kau anggap neraka. Andai keyakinanmu berlebih, aku mampu memberi surga di kedalaman jiwa.

Lautpun mulai membuka pintu bagi siapa yang mengetuk.  Ketakberhinggaannya memasuki wilayah rahasia kedalaman dan kesenyapan. Ketakterbatasannya terwadahi dalam misteri kesunyian ombak. Semua telah tertumpah dari ketinggian.

Kata laut: Semua bergantung pada wadah yang kamu siapkan.



MAAF SAHABAT, AKU MERAGU



MAAF SAHABAT, AKU MERAGU

Dengan berapi engkau katakan misteri hidup berhasil di singkap, bukit-bukit pendakian telah di lewati, bakti yang telah di persembahkan, benih kasih yang telah di tebar dan sekian pencapaian rasamu yang membuat sekian banyak terkagum dan memuji.

Tapi aneh, saat apa yang diucap setinggi gunung  menuntut bukti, bersikap tidak lebih dari gundukan tanah. Saat berkata seluas lautan, saat bertindak seluas kolam. Jauh panggang dari api.

Maaf sahabat, aku mulai meragu. Kehormatan tersemat tak layak engkau terima. Jangan sembunyi di balik jubah putih dan bermahkota para suci, jika dia hanya menirai kebusukan yang ingin disembunyikan.


Maaf sahabat, aku meragu dan menjauhimu.

Senin, 28 April 2014

AKU ADALAH PASIR YANG ENGKAU INJAK



AKU ADALAH PASIR YANG ENGKAU INJAK

Aku adalah pasir yang engkau injak di padang kembaramu, terlihat dalam menggurat indah. Aku mengaduh agar engkau mendengar dan melihat ke belakang, sayang engkau terus berjalan.

Aduhanku kian kencang saat engkau lupa membaca guratanmu. Aku takut angin akan hempaskan ke belakang atau badai akan memaku kakimu.  Akhirnya engkau diam dan terjatuh juga.

Kataku: Lihat guratanmu. Dari sanalah hendaknya bercermin. Aku tak mampu menjaganya lama karna badai akan hilangkan cepat. Begitulah hukum kesunyian. Dia muncul dari ketersembunyian tuk bernyata, setelah mengada, kembali menuju ketiadaan.

Aku adalah pasir yang engkau injak dan di abai. Pun aku adalah guratan yang tak sempat engkau baca dan di lupa.





ADAKAH PUNCAK KLIMAK?



ADAKAH PUNCAK KLIMAK?

Air berlari cepat menuruni lembah menuju anak sungai, dari anak sungai air bergegas menuju sungai  besar dan selanjutnya berkumpul bersatu menuju lautan. Tetapi laut tidak pernah penuh. Dimana puncak klimak bersembunyi dan bertahta?

Kata mentari: tak ada puncak klimak. Yang dianggap klimak sebentar lagi menjadi anti klimak. Aku yang akan membakar lautan hingga dia bosan berbangga.

Dan kemestian itu berjalan wajar, aku melihat titik-titik air berterbangan mengangkasa, dia tertampung gumpalan awan. Awanpun menjadi sombong karna menjadi mendung.

Kata angin: Tak ada puncak klimak. Yang dianggap klimak sebentar lagi menjadi anti klimak. Aku yang akan menerbangkan mendung dan memaksanya menurunkan air.

Aku terus susuri puncak klimakku sambil mengingat sang rosul saat berkata: Aku tidak akan naik  diantara punggung-punggung yang menahan tumitku, saat sahabatnya menawari tandu sebagai pelindung atau saat berkata: aku hanyalah sorang anak yang dilahirkan dari wanita yang  makan dendeng dari mekah saat sorang lelaki bercerita tentang kehebatannya.




AKU HANYLAH KABUT YANG SEGERA TERSAPU DAN MENGHILANG



AKU HANYLAH KABUT YANG SEGERA TERSAPU DAN MENGHILANG

Aku melihat jubah misteri hidup yang tersingkap angin semilir pengetahuan. Aku hanya melihat kekosongan tanpa isi apapun, kegelapan tanpa ada penerang setitikpun.

 Dia mulai kedinginan, dia mulai berkata lunak: Hidup adalah kesiaan, aku hanyalah kabut yang segera tersapu dan menghilang, aku seirama mentari yang  berlari terbit dan bercepat tenggelam.

Masih tak ku percaya akan penglihatan mata sendiri dan ucapan nyaring terdengar di telinga, aku bersibuk memperbanyak wadah, meninggikan permukaan agar termuat banyak dan menghiasi dengan aneka kindahan.

Aku terus haus tanpa pernah tahu kemana pemuas dahagaku, aku kian lapar tanpa pernah pahami bagaimana mengenyangkannya.

Aku melihat sibuta berdamai dengan kebutaannya, si tuli yang berteduh dalam ketuliannya. Kurasa dia menyimpan rahasia kedalaman rahasia hidup yang tersingkap dalam mata terpejam dan terungkap oleh telinga yang tertulikan.




DUHAI NABIKU, AKU TAK BISA MENIRUMU MESKI SETITIK DEBU SEKALIPUN



DUHAI NABIKU, AKU TAK BISA MENIRUMU MESKI SETITIK DEBU SEKALIPUN

Kabar itu telah lama terdengar, tetesannya telah mengendap lama di dasar kepala. Sayang, aku bukan tiram yang tetesan airnya menciptakan mutiara gemerlap.

Kukatakan pada telinga hati: muhamad memilih menjadi nabi dan hamba bukan nabi dan raja saat malaekat memberi pilihan.

Ah...andai aku. Sayang...pribadi bijak yang memilih....

Malaekat menawari lag: Andai engkau mau akan aku ubah gunung uhud menjadi emas dan kerikil-kerikil mekah menjadi permata.

Ah..andai aku. Sayang...pribadi bersahaja yang memilih...

Kata nabi: aku memilih sehari  kenyang dan pada saat itu aku bersukur dan memujiNya dan aku memlih sehari lapar dan pada saat itu aku merendah dan bersabar.


Kata lidah hatiku: Aku tidak bisa menirumu...bahkan setitik debu yang mudah diterbang angin sekalipun. 

TUHANKU, JANGAN BIARKAN SENDIRI SESAATPUN



TUHANKU, JANGAN BIARKAN SENDIRI SESAATPUN

Aliran deras sungaiku kadang hentikanku di simpang jalan bahkan jatuhkanku ke lembah-lembah kelam terlaknat, bergumul dengan sekian tanya mencemaskan, sekian bimbang menggoyahkan batu iman yang lemah tertancap, sekian ketakpuasan meresahkan kenyamana kemah hati dan melangkah mencari jawab tanpa tongkat penuntun.

Tak ada sinar menunjuk terangNya, tak ada sinar menunjuk jalan kembali. Mana lagi jejak yang mesti disusur? Mana lagi nama mesti di sebut? Aku rindu pimpinananNya, Dimana Dia berada sekarang?

Satu-satunya petunjuk hanyalah aroma wangi kekudusan semerbak dari mushaf di tangan, menghirup wanginya dengan semajlis para pecintanya yang memampu ubah lembah laknat menjadi terbekati, membasuh wajah pendosa menjadi mulia bercahaya, sayang mata tertabur butiran debu dan baju kotor tak bisa serap wanginya.


Tuhanku...jangan biarkan sendiri sesaatpun, jangan terpisah sejengkalpun dari ma’rifatMu,

Sabtu, 26 April 2014

RINDUKU PADAMU, DUHAI GURU MURSYIDKU



RINDUKU PADAMU, DUHAI GURU MURSYIDKU

Aku menangis sakit saat pukulan kenangan menghantam dada. Aku melihat sang guru terdiam memendam rindunya padaku, pada murid bodohnya yang harus terus direndam agar tetap basah.

Kini dengan berbangga, aku telah keluar dari laut dan kulihat engkau menangis tersedu. Suara paraunya sampai ketelinga jiwaku lewat hembusan angin semilir: Kembalilah ke laut. Engkau belum siap. Angin akan mengeringkanmu, mentari akan membakarmu, pasir akan mengotorimu.

Kata sang guru: Saat engkau telah memasuki kemahku dan telah pasrahkan jiwamu dalam pengawasanku, engkau tak bisa keluar lagi. Masihkah tak kau rasakan cinta mendesakku saat  kita sepiring bernafas dan seranjang berselimut kerinduan akan misteri hidup yang hendak engkau singkap.

Aku menangis saat keluar dari kemah kusadari aku telah melepas indah surgaku demi wangi neraka yang menipu.

Kata sang guru: engkau boleh keluar dari kemahku saat engkau siap. Aku belum ijinkan ketika engkau belum pahami beda cinta mendesak dan nafsu membakar.


TUHANKU, BUKA PENYUMBAT TELINGA HATI



TUHANKU, BUKA PENYUMBAT TELINGA HATI

Aku menangis saat hujan firman dibacakan tak mampu suburkan ladang gersangku, menyimpan airnya untuk sementara waktu, malah membiarkannya menggerus tanah suburku.

Anehnya saat puisi di bacakan dan lagu di dendangkan, telinga terbuka lebar, hati ikut menari dan bernyanyi, hati mudah larut ke alam extase.

Sering mushafku mengeluh: untuk apa aku dibawa jika tak pernah di perdengarkan dan dipahamkan. Engkau hendak menipu mereka tapi enkaulah yang tertipu sebelum engkau menipu mereka.

Aku menangis saat kuketahui  kian menjauh dari dekatNya, kian berpaling dari sampaiNya, kian mati dari hidupNya.


Tuhanku...buka penyumbat telinga...

CARI YANG LEBIH MISKIN DARI MEREKA



CARI YANG LEBIH MISKIN DARI MEREKA

Mengenang kembali tangan-tangan dermawan, menabur benih diladang gersang tangan menengadah, menyirami dengan kerendah hatian, menjaga segenap perhatian, sayang sebelum bertunas dan berbuah angin kejam melenyapkannya. Mereka terus menjerit lapar padahal di kantong lapuk tersembunyi butiran permata.

Kata angin: Carilah yang lebih miskin dari mereka, dimana rasa malu menjadi perhiasan dan meminta adalah sebuah kehinaan.

Waktu berlalu memperjalankan jiwa-jiwa dermawan dalam tempat-tempat penuh kemegahan tapi pengisinya hanya jiwa-jiwa budak, dalam ruang-ruang kemewahan tapi pengisinya hanya jiwa-jiwa miskin.

Tak ditemukan gubug reot dengan penghuni kaya hati, tak ditemukan jiwa bersih dibalik pakaian kumal.

Jiwa dermawan terus mencari dalam sunyi mengayun dalam bisu, mencari sipenerima tapi menolak pemberian, mencari sipenerima tapi mencukupkan diri, sembari melangkah mengulang kata muhammad: apabila dia memberi apa yang tidak dipinta dan tak membuat tamak, maka ambillah karna itu adalah jatahmu, jika tidak tangguhkanlah.


Mungkinkah dia menemukannya?

Jumat, 25 April 2014

WAHAI ANGIN, BERHENTILAH MENGHANTAM OMBAKKU



WAHAI ANGIN, BERHENTILAH MENGHANTAM OMBAKKU

Laut didalam dada terus bergemuruh, tak kukenali batas kuat karangku, tak kukenali ujung sabar ombakku, aku kian terasing dengan pengenalan samarku.

Wahai angin, berhentilah menghantam ombakku...berhentilah memukul sampan-sampan dilautku...berhentilah sobekkan layar dan kemudinya...

Wahai angin, tak mungkin tak kaukenali jika sampan-sampan itu adalah penghuni kemahku dimana aku terbiasa sepiring dan seranjang bersama...mereka tak terbiasa keluar, berjalan dibawah hujan menderas dan tak terlatih melangkah bersama angin mendera.

Wahai angin, aku mudah mencair dalam sedih mereka, aku mudah larut dalam keluh mereka, jika bersabar sebentar akan ku jauhkan mereka dari kedekatanku, akan kuasingkan dari pengenalanku, akan kusempitkan dari keluasanku, akan ku batasi dari ketakberhinggaanku.


 Semoga diwaktu depan, mereka menjadi lawan terberatmu, menjadikanmu batu berserak dihantam keras godamnya dan engkau terengah dalam nafas menyerah.

Kamis, 24 April 2014

TEMUKAN TIRAM YANG SEMBUNYIKAN MUTIARAKU



TEMUKAN TIRAM YANG SEMBUNYIKAN MUTIARAKU

Wajah ba muncul dan mengagetkanku melemparkan jiwa ke lautan kebingungan nyaris tak berpantai. Ada banyak tanya minta dijawab, ada serpih teka-teki belum terisi.

Kali ini dia berwajah babun, sebuah pintu terbuka yang meminta dibuka pelan, dimasuki perlahan, berhenti sejenak kemudian beranjak pergi. Telah menunggu pintu-pintu lain tuk diketuk.

Kemaren dia berwajah baitun, sebuah rumah  terkunci dan aku belum berhasil membuka meski kudobrak paksa, pintu itu terlalu perkasa. Kusadari salahku, aku meminta diluar butuhku.


Aku ingin lusa, dia berwajah bahrun dan menepuk dada: disini tersembunyi samudra tak berpantai. Engkau boleh menyelam dan temukan tiram yang sembunyikan mutiaraku. Sudahkah ulung berenang dan mahir menyelam?

CAWAN TSA BERISI TIGA RASA, BISAKAH MENCICIPINYA?



CAWAN TSA BERISI TIGA RASA, BISAKAH MENCICIPINYA?

Aku terus kehausan tanpa pemuas dahaga. Angin kencang dan badai besar sering menyergap tenggorokan membuat samudra hati kian bergemuruh dan ombak tak henti bergulung memaksa nafas menghela memburu dan lidah berjalan cepat mencari segelas air.

Kutemukan sosok yang bukan hanya rela berjalan dibelakangnya bahkan siap menjadi kakinya berjalan, menjadi kain pengusap peluhnya dan menjadi nafasnya bila meminta, menawariku pemuas dahagaku.

Kudengar jelas saat dia berbisik, terlihat ketakutan bila ada telinga lain mendengar: Ada cawan jiwa serupa tsa berisi tiga rasa yang telah bercampur andai engkau mau aku bisa memisahnya. Air berasa islam yang membuat ahwal sesegar susu, air berasa iman yang  bermaqom menjadi semanis madu dan air berasa ihsan yang membuatmu termabukkan oleh anggurNya. Cicip dan reguk...!


Ya... engkaulah termanis dari termanis...

DARI SHOD MENUJU SIN



DARI SHOD MENUJU SIN

Aku melihat langit muram dan bersedih, bintang tak lagi benderang, rembulan tak lagi bercahaya. Rinai hujan dan badai kencang tak lagi menenangkan hati.

Shoderku kian terengah mengejar sidroh tertinggi, dari kerendahanku dari kejauhanku telihat jelas menanti. Hati kian terpasung birahi bukan lagi cinta mendesak, kaki terbelenggu oleh beban yang tak ingin melepas dan mata tertabur debu yang berkilau.

Aku tak lagi meneguhkan maqomku tak lagi setia akan ahwalku, bagaimana mushahadah tidak dangkal, ma’rifat tidak rendah?


Aku merasa shoderku memburu berlari cepat dan  melihat sidrohku menunggu.

Rabu, 23 April 2014

DEMI NUN



DEMI NUN

Saat ba’ berubah menjadi nun, saat cawan terbuka melebar menjadi terbuka keatas, saat sedikit terwadahi dapat banyak menampung, saat pencari menjadi penemu, mungkinkah? Akukah siterjaga atau siterpejam? akukah siawas ataukah siterpedaya? 

Saat ba’ menjadi nun, saat titik dibawah menuju ke atas, saat titik penghias menjadi cahaya penerang, saat mentari luar yang biasa terbit dan tenggelam berubah menjadi mentari hati yang tak pernah tenggelam, saat pencari menjadi penemu, selanjutnya?

Ya...saat penuju menyatu yang dituju, tak ada lagi penuju dan yang di tuju. Mereka bersatu tanpa berpisah. Mereka menyatu tanpa berbeda.


Nun menjadi kalamNya, Demi Nun...

SIAPAKAH MEREKA?


SIAPAKAH MEREKA?

Aku berjalan disebuah wilayah dimana lidah telah terpotong dan mulut telah terjait. Hukuman atas kejahatan apakah yang menimpa? Ketidakadilan apakah yang telah mendera hingga menuntut dan melawan?

Aku melewati mereka dalam kesunyian dan kebisuan. Yang terdengar hanya semilir angin bernyanyi dan rintik hujan menari.

Aku susuri jalan setapak menuju hati mereka, terlihat sekelebat bayang suci memandu langkah, terdengar gema memantul dari dinding hati mereka, ya muhammadku... ya ahmadku...ya mimku...

Ya mereka menjadi terdiam karna hati mereka sibuk menyebut. Ya mereka menjadi terbungkam karna pikiran telah tenggelam dalam keterpesonaan pada kemilau wajahnya.

Aku berhenti dan duduk bersama mereka.

Selasa, 22 April 2014

SERUPA ITULAH CAWAN HATIKU



SERUPA ITULAH CAWAN HATIKU

Entah kenapa aku jatuh cinta berkali-kali ketika dia disebut dari kejauhanku, ada rasa yang hilang dan ingin kutemukan, ada gelap yang menikam dan ingin kupulihkan...

Aku merindui huruf ba yang masih menirai pandangan mataku dan ingin sekali menyibak keterpesonaan yang menggilakan itu.

 Serupa cawan lebar dan lapang yang mencoba menampung setetes ruang kehadiranNya yang tak terbatas, terlihat kosong tanpa isi seakan meminta terus dipenuhi, terbuka indah keatas seakan minta dipuaskan.

Serupa itulah cawan hatiku.

Ada titik kecil penghias dibawah seolah berkata: aku letakkan mentari luarku dibawah sebagai penerangku sebelum aku temukan mentari yang tak pernah tenggelam tersembunyi didalam cawan hatiku.


Serupa itulah pencarianku pada mentari batinku.

DALAM TANGANMU KUSERAHKAN JIWAKU



DALAM TANGANMU KUSERAHKAN JIWAKU

Aku melihat dengan mataku para pengingkarMu mengalami hal-hal baik, penuh bertabur bunga disepanjang jalan, awan-awan memayung dari sengat panas dan burung-burung berlagu merdu menghibur telinga.

Aku melihat dengan mataku para penujuMu mengalami hal-hal buruk, tak ada indah bunga-bunga apalagi wangi semerbak di sepanjang langkah, hujan tak segan mematikan api gairah dan angin tanpa ragu gigilkan semangat.

Tuhanku...jangan terselip ada keraguan bahwa engkau lemah, engkau tak berdaya. Ku percaya walau tak ingin yang terjadi semua adalah kehendakMu, semua dalam kendaliMu, semua dalam kuasaMu.

Tuhanku..jangan tinggalkanku meski sesaat, jangan tinggalkanku dalam sejengkalpun.


Tuhanku...dalam tanganMu kuserahkan jiwaku, dalam genggamanMu kupasrahkan hatiku.

TERUSLAH MENANAM, TERUSLAH MENUAI



TERUSLAH MENANAM, TERUSLAH MENUAI

Tak mengapalah sesekali angin membawa awan hujan kelembahmu,  air deras menggerus tanahmu dan membawa benihmu yang baru bertunas.

Tugasmu terus menanam, perhatikan arah angin, biarkan dia berserak dimana dia ingin jatuh dan bertumbuh.

Tugasmu terus menuai, perhatikan awan, walau dia tak bisa dikenali penuh dari mana berasal paling tidak dapat dipahami kemana hendak pergi.

Teruslah menanam, teruslah menuai  karna kamu tak pernah tahu mana pekerjaan yang diberkatinya.


 Dia hendak membawamu ketempat tujuanNya, meski dalam pentahapan perjalanan Dia memastikanmu untuk mangalami hal-hal yang membuatmu tunduk dan percaya.

Senin, 21 April 2014

MAAF, AKU MENJAUHIMU



MAAF, AKU MENJAUHIMU

Awalnya, kukagumi sepenuh kekaguman, ketika kulihat engkau kian hari kian pintar. Dengan kepintaranmu, pohonmu kian menjulang dengan batang kian meninggi, ranting kian memuncak dan daun-daun kian rimbun. Dari kerendahanku aku tak bisa lagi menaiki batang dan memuncaki rantingmu.

Sayang, kepintaranmu mengubah dirimu menjadi pribadi yang bukan Dia kehendaki. Engkau makin tinggi hati, kian kejam. Dengan kepintaranmu, engkau cabut benih-benih baru bertunas dan pangkas habis daun-daun lagi bersemi.

Semestinya, daun rimbunmu berguna tuk berteduh, batang dan ranting tuk di naiki semampu bisa dan dari ketinggian itu berharap bisa melihat lebih luas dan lapang.


Akupun mulai menjauhimu ketika dengan kepintaranmu meninggikan diri  dan menginjak sipandir, menguasakan diri dan memperbudak si bodoh.

DIA SEDANG MEMULIAKANMU DENGAN CARANNYA



DIA SEDANG MEMULIAKANMU DENGAN CARANNYA

Aku melihat dengan mataku simiskin yang tertolak dipintu sikaya, andai dia memberi tak kan berkurang gudang simpanan karna yang diminta senilai sepiring nasi.

Kemana lagi simiskin harus mengetuk pintu jika sipemberi tak mau membuka? Kemana lagi tangan yang menengadah meminta tolong jika tangan yang diatas tidak menabur?

Haruskah simiskin membawa parang, mendobrak pintu mereka, mengalungkan dileher mereka dan merampok semakna sorga dengan segala pehiasan dan kindahannya baru sikaya mau memberi?

Padahal didalam harta mereka ada hak sipapa yang wajib diberi.


Kukatakan padanya: Tuhan sedang menjaga kalian dari kehinaan bermegahan dan kesenangan menumpuknya. Dia sedang menahan kecukupanmu dikesementaraanmu dan akan memberi di keabadiaanmu disuatu hari yang mereka ingkari. Dia sedang memuliakanmu dengan caraNya yang  mungkin engkau tak suka. 

DIAKAH YANG MENJADI PENGLIHATAN BUAT MELIHAT



DIAKAH YANG MENJADI PENGLIHATAN BUAT MELIHAT

Aku telah menjauhi mereka yang gudang-gudang harta mereka telah penuh tapi masih merasa kurang. Aku telah bersunyi dari mereka yang terus sibuk mengumpul hingga tanah-tanah menjadi sempit. Kecukupan dan keterpuasan telah Dia hilangkan dari hati mereka.

Ya...mereka terus teriak lapar meski terus makan dan terus tak terkenyangkan. Mereka terus menjerit kedinginan meski ribuan lembar kain telah menutupi, mereka terus telanjang.


Ya...aku melihat dengan mataku harta menjadi penglihatannya buat melihat, menjadi pendengarannya buat mendengar, menjadi kaki buat berjalan dan menjadi hatinya buat merasa.

SUNGGUH SEDIKIT APA YANG DAPAT DINIKMATI



SUNGGUH SEDIKIT APA YANG DAPAT DINIKMATI

Selalu manusia berkata hartaku...hartaku...hartaku, padahal hanya tiga macam dari hartanya yang khusus baginya.

 apa yang sudah dimakan kemudian hancur dan larut

 apa yang sudah dipakainya kemudian usang dan buruk

 apa yang sudah diberikan berupa derma dan sedekah yang kemudian menyenangkan bagi hatinya.

Selain daripada itu akan hilang dan ditinggalkan bagi yang lain.

Sungguh sedikit apa yang dapat dinikmati... sungguh banyak apa yang kan hilang dan ditinggalkan...


Ya...kita hanya kelompok pengumpul bukan penikmat...

Minggu, 20 April 2014

LUKMAN DAN PUTRANYA BERSAMA TUNGGANGANNYA



LUKMAN DAN PUTRANYA BERSAMA TUNGGANGANNYA

Suatu ketika lukman al-hakim dan putranya berjalan ditengah keramaian dengan berkendara himar.

Suatu saat lukman menaikinya dan putranya menuntunnya, orang yang ditemui mencelanya: orang tua kejam, dia berkendara dan anaknya disuruh berjalan.

Kemudian putranya disuruh naik sehingga himar itu ditunggangi berdua, orangpun masih mencela: dua orang naiki satu himar, berbelas kasihlah padanya meski dia hanya seekor hewan.

Lalu lukman turun, sekarang hanya anaknya yang menungganginya, orangpun masih mencela: anak tak berbakti, masa bapaknya disuruh menuntun.

Kemudian keduanya turun dan berjalan sambil menuntunnya, orangpun tetap mencelanya: dasar bodoh, masa mau diperbudak hewan.

Ah...mesti bagaimana wahai pencela...?


SELAMAT JALAN SAHABAT



SELAMAT JALAN SAHABAT

Berita itu bak kilat menyambar mata dan serupa petir menggelegar menulikan telinga, kemestian telah mendatanginya, kenyataan yang paling nyata telah menjemputnya, sahabat tercintaku telah melewati rumah kesementaraan dan melanjutkan perjalananya ke alam keabadian.

Ingin aku memeluknya tuk terakhir kali dan kukatakan padanya: engkau telah sampai padanya, engkau telah melewati semua jalan dengan indah.

Aku ingat dengan katamu bahwa ikhlas ada rasanya , sabar ada nikmatnya dan bersandar ada manisnya dan itu bukan sebatas penghias bibir atau pemanis isi kepala, kulihat dengan mataku itu dibuktikan dengan indah dalam laku hidupmu yang sangat ingin kutemukan.

Selamat jalan sahabat, berbahagialah dengan pengantin yang selalu engkau rindui dari kejauhanmu. Saatnya bercinta sekarang.


HANYA PADAMU JIWAKU KUSERAHKAN



HANYA PADAMU JIWAKU KUSERAHKAN

Telah ku kunjungi sisakit di rumah sakit dan siterluka yang sembunyikan pedihnya di goa hati, jangan terlarut oleh rasa itu dan mengubah dirimu menjadi pribadi yang bukan Dia kehendaki.

Selalu ada hikmat terserak yang lupa dihimpun bahwa saat Dia mencicipkan rasa itu Dia sedang menunjuk pemberiannya yang lupa disukuri. Selalu ada potongan teka-teki yang tersisa saat Dia tunjukkan kenyataan yang sering diingkari. Selalu ada tanya tak terjawab saat Dia beri pelajaran yang kurang diperhatikan.


Carilah penyembuhmu sekarang dan katakan padanya, jika sakit ini lebih indah bagiku kumohon kuatkan aku dan jika sakit ini berujung kepahitan kumohon sembuhkan aku. Hanya padamu jiwaku kuserahkan.

MIMPI SURGAKU DAN NYATA NERAKAKU

MIMPI SURGAKU DAN NYATA NERAKAKU

Aku mimpikan kehidupan surgaku dalam keterpulasan duniaku, dengan madu termanis yang singkirkan pahit empedu kehidupan dalam tiap pergumulan kalahku, dengan air tersegar yang padamkan nyala nafsu akan dahaga tak terpuaskan dan lapar tak terkenyangkan, dengan pohon-pohon yang rimbun, sungai-sungai yang mengalir, angin lembut semilir yang lenyapkan keberadaanku menuju sunyi ketiadaanku.

Sayang...imanku setitik hanya terjadi dalam mimpi tidak dalam nyataku. Sayang imanku tidak lebih dari sebutir debu ditiup angin tak mampu bangun kindahan itu dalam kedalaman jiwa.


Cermin jiwaku berkata: teruslah melangkah, kaki yang terus terayun menuju mimpi indahmu mendekat ke surgamu dan langkah yang tertinggal tinggalkan nyata perihmu menjauhkan dari nerakamu.

HIDUPKAN JIWA MUSA DIDALAM DIRIMU



HIDUPKAN JIWA MUSA DIDALAM DIRIMU

Aku telah lama tak mendengar tapi  kudengar jelas rintihan silapar milik si miskin, rintih perih milik sisakit, rintih pilu milik siterjatuh, jerit mengerang milik siterluka...

Aku telah lama tak melihat tapi kulihat terang topeng perbudakan dibalik kindahan kebebasan yang dipamerkan, milik si gadis yang terpaksa menikah dengan bujang yang tak dicintai, milik si istri yang naik keranjang suami tapi jiwa melayang dengan lelaki lain, milik si anak yang terpenjara di rumah megah milik bapaknya...


Aku hanya bisa beri lentera kecil di ruang kehadiranya dengan mengatakan hidupkan jiwa Musa didalam dirimu, inilah cara Tuhan berbincang padamu, berbicaralah dengan suara lembut dan hati merendah.

JIKA ENGKAU MAU, AKU KAN MEMBUAT KERIKIL MENJADI EMAS



JIKA ENGKAU MAU, AKU KAN MEMBUAT KERIKIL MENJADI EMAS

Rosul berkisah kepada sahabat ali, suatu waktu malaekat mendatangiku dan berkata: Wahai muhamad, Tuhanmu mengucap salam padamu dan Dia berfirman: Apabila engkau berkehendak, Aku kan membuat kerikil mekah menjadi emas.

Belio mengangkat kepala kearah langit dan berkata: Tidak wahai tuhanku, aku kan kenyang sehari maka ketika itu aku kan bersyukur dan memuji-Mu dan aku kan lapar sehari maka ketika itu aku kan merendahkan diri dan mengingat-Mu


Bercermin padanya: bisakah menirunya?

Sabtu, 19 April 2014

ANAK YANG TERPASUNG DIRUMAH MEGAH ORANG TUANYA



ANAK YANG TERPASUNG DIRUMAH MEGAH ORANG TUANYA

Aku melihat anak-anak terpasung dipenjara megah milik rumah orang tuanya sendiri, dengan memaksa kejayaan masa lalu dibawa kekelaman masa sekarang dan keperkasaan orang tua di bebankan ke punggung anaknya yang rapuh.

Bukankah setiap jaman membawa kisahnya sendiri dengan menempati ruangnya yang tak terbatas dan mungkin tak sempat terwadahi?

Mungkin sungainya tetap sama dan aliran airnya tiada beda tapi apakah air hari ini sama dengan air yang kemaren?


Aku melihat anak-anak berjalan pelan dan ayunan lunglai tanpa jiwa tanpa semangat. Terlihat mereka serupa zombie yang menakutkan. Inikah yang engkau kehendaki wahai orang tua?

MELANGKAHLAH MESKI SATU LANGKAH KECIL



MELANGKAHLAH MESKI SATU LANGKAH KECIL

Aku melangkah dengan kaki terayun tinggi penuh harapan bahwa tak ada kesiaan bila berharap padanya dan tak ada kepalsuan bila bersandar pada dinding kokohnya.

 Sementara kaki yang satu terpaku penuh takut akan masa depan yang penuh ketakpastian dan kedukaan  masa lalu akan kemapanan dan kenyamanan yang kan ditinggal dan menjadi kenangan.

Dan saat kedua kaki berhasil berpijak selalu ada rantai yang memasung kaki dengan bandul besar terikat. Saat berhasil melangkah diatas padang harapan yang terlihat jejak bandul menggurat indah sementara jejak kaki menyamar bahkan hilang sembunyi.


Hanya satu nyala keyakinan yang selalu kujaga agar tak redup oleh hempasan angin bahwa saat kita taat melangkah meski satu langkah kecil, Dia akan menuntun langkah berikutnya.

ANAK YANG TERPASUNG DIRUMAH MEGAH ORANG TUANYA



ANAK YANG TERPASUNG DIRUMAH MEGAH ORANG TUANYA

Aku melihat anak-anak terpasung dipenjara megah milik rumah orang tuanya sendiri, dengan memaksa kejayaan masa lalu dibawa kekelaman masa sekarang dan keperkasaan orang tua di bebankan ke punggung anaknya yang rapuh.

Bukankah setiap jaman membawa kisahnya sendiri dengan menempati ruangnya yang tak terbatas dan mungkin tak sempat terwadahi?

Mungkin sungainya tetap sama dan aliran airnya tiada beda tapi apakah air hari ini sama dengan air yang kemaren?


Aku melihat anak-anak berjalan pelan dan ayunan lunglai tanpa jiwa tanpa semangat. 

Terlihat mereka serupa zombie yang menakutkan. Inikah yang engkau kehendaki wahai orang tua?

DIBALIK RUMAH MEWAH SIKAYA DAN GUBUG REYOT SIPAPA



DIBALIK RUMAH MEWAH SIKAYA DAN GUBUG REYOT SIPAPA

Telah kumasuki rumah mewah nan megah milik sikaya dan yang kutemukan hanyalah penempatan yang salah tentang isi pada  cawan.

Mereka menyebut kekayaan dengan apa yang diraba dan mendebarkan jiwa dan apa yang dilihat dan mempesonakan hati.

Mereka letakkan kekayaan dalam tahta pikiran dan menyibukkan waktu dengan tunduk dibawah titahnya dan merantai kaki dibawah hukumnya.

Dan telah kukunjungi pula gubug reyot milik simiskin dan sungguh telah kutemukan apa yang kudamba. Aku berhenti mencari.

Mereka menyebut kekayaan bukanlah yang tersentuh dan terlihat tapi tersembunyi dalam rimbunnya hati dan teduhnya batin.

Mereka letakkan kekayaan sebatas tempat duduk bukan mahkota dikepala, sebatas sampan bukan dermaga tempat berlabuh, sebatas ladang persiapkan bekal yang kan dibawa bukan kenangan yang kan ditinggal.


IJINKAN AKU BERZINA!



IJINKAN AKU BERZINA!

Dalam suatu majlis, datang seorang pemuda menghadap nabi dengan tanda-tanda sahwat diwajahnya: duhai nabi, ijinkan aku berzina!

Para sahabat yang hadir terlihat marah dan hendak memberi pelajaran tapi nabi mencegah dan menyuruh tetap tenang. Belio menyuruh pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya.

Nabi bertanya: apa yang engkau inginkan wahai pemuda?

Pemuda itu menjawab: Aku menginginkan anda mengijinkanku berzina.

Kata nabi: maukah ada orang lain yang berzina dengan ibumu? Sukakah ada pria berzina dengan saudarimu? Atau relakah ada yang melakukan dengan bibimu?

Pemuda itu menjawab pelan: tentu tidak, wahai nabi.

Pemuda itu terhenyak dan menyadari keburukan zina.

Ia berkata: semoga aku menjadi tebusanmu, mintakan ampun bagiku, aku bertobat dan berjanji tak akan mengulangi lagi.


Duhai alangkah bijaknya sang nabi dan alangkah mudah larut hatimu wahai pemuda semudah hilangnya boneka  tersapu ombak.

CUKUPLAH DENGAN DUNIA SERUPA BEKAL SORANG PENGEMBARA



CUKUPLAH DENGAN DUNIA SERUPA BEKAL SORANG PENGEMBARA

Aku dan wanitaku menangis saat angin semilir berbisik: ingatlah, saat ‘aisah menangis dipundak muhammad karna perih kian menindih dan sesak kian menghimpit tak tertahan lagi.

Kata nabi: Kenapa menangis? Jika mau mengikutiku, cukuplah dengan dunia serupa bekal sorang pengembara.

Dan sejak saat itu ia tak pernah mengganti pakaiannya yang rusak sebelum menambalnya atau membaliknya.


Aku dan wanitaku menangis. Akankah tangisan ini mampu menyirami ladang hati yang kering dan tandus?